Showing posts with label Self-Developing. Show all posts

TOXIC PEOPLE IN YOUR LIFE

Pernah suatu masa saya punya teman kerja yang selalu membuat saya uring-uringan jika bertemu dengannya. Kebetulan jabatannya lebih tinggi dari saya, meski ia bukan atasan langsung  saya. Seusai berbicara dengan dia, saya selalu merasa bodoh, tak berguna, remeh, pokoknya seluruh eksistensi saya hancur. Padahal saya  tidak bego-bego amat  sih. Wong saya ini juga lulusan salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa dan di luar Indonesia.
Solusinya waktu itu, jika terpaksanya harus bicara dengan dia, saya akan mengajak seorang teman. Saya menghindari bicara empat mata dengan dia. Saya bilang pada teman saya, “Tolong kendalikan saya, jika kamu merasa tensi saya mulai naik.” Niat saya selalu ingin berdialog dengan baik-baik, masalah perkerjaan tentu saja. Tapi kadangkala niat ini sulit terlaksana. Warna suara saya yang biasanya alto bisa perlahan berubah menjadi sopran dengan nada melengking tinggi.
Kalau sudah begitu teman saya akan menendang kaki saya dari bawah meja. Saya segera lakukan lima  kali tarikan nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan dalam lima kali hitungan. “Oh, Allah paringana sabar,” saya mengucap mantra. (terj : Beri aku kesabaran ya Allah).
Segala hal bisa menjadi sulit  jika berhadapan dengan dia.   Puncaknya adalah ketika saya hendak berangkat  studi ke Filipina. Saya minta kepada dia sejumlah musik daerah klasik (original) yang pasti tersimpan banyak sekali di komputernya. Kebetulan si boss ini semacam kepala divisi radio di lembaga di mana kami bekerja. Di luar negeri saya pasti membutuhkan sejumlah bahan jika sewaktu-waktu diminta memperkenalkan Indonesia.
Cara dia menanggapi permintaan saya sungguh membuat saya terhina. Katanya, “ Itu ambil sendiri di komputer saya,” katanya. Matanya mengarahkan saya untuk memasuki ruang kerjanya yang lain. Wah, ruang yang canggih. Di situ ada komputer desktop yang bagus yang terhubung dengan beberapa tape recorder, dvd player atau entah peralatan apa lagi yang tidak saya kenali. Saya ini gaptek. Lihat alatnya saja saya nggak mudheng, apalagi ketika komputer itu saya nyalakan. Saya tak mengenali program-program di dalamya dan di mana file musik disimpan.
Saya keluar menemui dia dan mengutarakan kesulitan saya. Dia cuma melirik selintas. “Lha kamu ndak akan bisa ngopi pakai CDRW kaya ngono kuwi,”
  •  ” Oh, jadi saya harus pakai CDR ya?”
  •    “Iya.”
  •   Titik.
  •   Senyap.
Saya kembali ke kantor saya dan mengambil perangkat yang diperlukan. Dan masuk lagi ke ruangannya. Tetap tak bisa mengopi file itu. AC yang adem di ruang itu tak bisa menghalangi keringat yang menetes di dahi saya. Karena tampaknya si pemilik tak mau menolong saya, saya mendatangi salah satu anak buahnya, seorang penyiar radio, untuk membantu saya. Dengan penuh belas kasihan si pemuda ini memandang saya tapi tak berdaya. “Aku ora wani Mbak, nek ora entuk izin si boss,” katanya. (terj. Saya tak berani mbak, kalau tak dapat izin dari si boss)
Saya temui lagi si boss  di ruang kerja satunya  —  dia punya dua ruang kerja. Maksudnya untuk sekali lagi mengemis pertolongan. Masyaallah. Ini si boss,  dia sedang dalam posisi merangkak, dengan dua lutut dan dua tangannya di atas lantai ruang kerjanya yang kinclong. Ruang kerjanya baru saja direhab, lantainya dikeramik. Dan di salah satu sudutnya ada setitik semen kering yang tertinggal. Rupanya setitik noda ini mengganggu hidupnya. Sehingga ia sampai nungging-nungging membersihkannya.
Saya ingin menendang pantatnya. Saya ingin mempersembahkan seluruh isi kebun binatang kepadanya  sambil mulut saya marapalkan namanya satu-satu.  Barangkali saya akan puas.
Tapi itu tak saya lakukan. Saya pulang ke kantor saya dengan tangan hampa. Intinya si boss menolak permintaan saya, tapi tidak dikatakan secara verbal.  Di kantor saya mengumpat-umpat, menceritakan derita saya pada teman-teman sejawat. Mereka tertawa.
 Kata mereka, “Mengapa kau tak tendang pantatnya seperti keinginanmu? “
“ Cuma berpikir buruk dengan ingin menendang pantatnya pun kau sudah berdosa. Jadi mending kautendang saja. Sama berdosanya kok, “ kata si sarjana agama.
“ Kalau kamu marah-marah begini, kamu akan dipenuhi dendam yang berubah menjadi luka batin, dan ini akan merusak dirimu sendiri. Kalau tadi kamu tendang pantatnya, kamu puas dan terbebas dari dendam.   Kamu akan sehat secara psikologis,” papar si sarjana konseling.
“Ayo saiki takterne mbalik mrana, tendhang bokonge. Aku taknempil,” kata mereka. (terj. Ayo sekarang  kami antar kembali ke sana. Tendang pantatnya, kami juga akan ikut menghajar dia). “Walah Ver, Ver, kasihan kamu. Biasanya kamu itu kalau ke sana minta dikawal. Tadi kok ya berani-beraninya kamu ke sana sendiri.”
Ah, teman-teman yang menyenangkan. Mereka selalu menyayangi saya sebagaimana saya juga menyayangi mereka. Kepada pundak mereka saya menyandarkan diri di kala lelah, kalah dan marah. Saya tertawa. Berangsur kemarahan mereda.
Bertahun kemudian saya mengetahui bahwa manusia jenis si boss inilah yang disebut TOXIC PEOPLE. Toksik artinya racun. Mereka adalah orang-orang yang membuat kita tak berdaya, tak berharga, terlecehkan, marah, malu di depan umum, dsb. Selalu ada jenis manusia begini di kantor atau di lingkungan tempat tinggal kita. Bukan berarti kita selalu benar dan tak perlu refleksi. Tapi selalu menyalahkan diri sendiri ketika berhadapan dengan orang ini jelas sebuah kesalahan.  Setidaknya paradigma bahwa kalau kita baik kepada semua orang maka semua orang akan baik pula kepada kita tidak selalu berlaku.  Maka stop menyalahkan diri. Hadapi jenis manusia ini dengan mata dan dagu lurus ke depan. Tidak perlu sombong tapi tidak juga dengan merunduk-runduk. Sebelum menemui orang ini yakinkan diri bahwa martabat kita sama, kita layak dihargai dan layak   disayangi. Tatap matanya dan tarik nafas. Katakan dalam hati, “Aal iz well.”
————————————————————————————————-
Note : tunggu postingan berikut tentang ciri-ciri toxic people dan bagaimana berrelasi dengan orang jenis ini. Artikel saya ambil dari buku : TOXIC PEOPLE: 10 ways of dealing with people who make your life miserable  dari ahli komunikasi terkenal Lilian Glass.

Sumber

Penyakit Berbahaya SOSIOPAT

Dewi adalah gadis yang menarik. Cara bicaranya hangat, membuat orang-orang yang diajak mengobrol kerasan. Saat berada di tempat baru, gadis 25 tahun itu juga seakan menyedot perhatian. Dewi adalah sosok idola. Detty, salah satu teman Dewi berpendapat, gadis itu memang punya ‘bakat’ khusus untuk menyenangkan orang lain.
“Siapa yang tak jatuh cinta pada Dewi, semua orang suka,” cerita Detty. Detty juga sempat menyukai Dewi dan ingin menjadikannya teman dekat.
 Namun entah kenapa, setelah beberapa saat mengenal Dewi, ada sesuatu yang aneh. Beberapa kali,Dewi ketahuan berbohong. Entah itu soal pekerjaan, atau soal keluarganya. Dan saat ketahuan, Dewi seakan merasa tenang-tenang saja. Dia tak merasa bersalah atau bahkan malu. Dewi juga bisa melakukan manipulasi tertentu untuk menjatuhkan teman-teman sekantornya. “Dia dipercaya sama bos, jadi apa pun yang dikatakannya langsung dipercaya, padahal itu manipulasi dia,” kata Detty
Rudi, rekan Dewi yang lain, juga melihat hal yang sama. Rudi menyebut Dewi sebagai troublemaker, meski tidak dengan cara ribut-ribut. “Kayak semacam mengadu domba gitu,” ujar Rudi. Pria 32 tahun itu bahkan mengaku pernah menjadi korban Dewi sampai-sampai dia bersitegang dengan rekannya yang lain.
 Antisosial
Orang dengan ciri-ciri seperti Dewi mungkin banyak ditemui dalam pergaulan. Ada yang biasa-biasa saja, tapi ada juga yang parah sehingga sudah mengganggu dan merugikan orang lain. Sosiopat merupakan perilaku antisosial. Ditandai dengan defisit emosi sosial seperti kurangnya rasa empati, tidak merasa bersalah, malu, atau menyesal.
 Ahli University of Tennessee- Knoxville menyebut, sosiopat tidak memiliki rasa tanggung jawab moral dan hati nurani secara sosial. Sosiopat sering menciptakan skema untuk memanipulasi orang. Mereka tidak pernah memperhatikan konsekuensi yang dapat menimbulkan kerugian orang lain. Ini merupakan salah satu reaksi dari sikap dinginnya yang menggambarkan kurangnya moral. Yang terpenting bagi mereka adalah mewujudkan keinginan sendiri, meski harus merugikan orang lain. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang penuh kebohongan, antisosial, munafik, dan narsis.
Namun biasanya, sosiopat ‘dianugerahi’ dengan bakat-bakat menyenangkan. Selalu pintar bicara dan menarik perhatian. Dia bisa menjadi pribadi yang sangat lembut dan menghibur. Untuk menjalankan aksinya dan mendapatkan yang diinginkan, para sosiopat memunculkan karakter idaman yang diinginkan semua orang. Diimpikan menjadi pasangan dan diidolakan sebagai sahabat.
Hingga kini, para ahli belum mengetahui apa penyebab seseorang bisa menjadi sosiopat. Namun penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa anak tunggal memiliki risiko tinggi mengalaminya. Penelitian yang melibatkan 20 ribu anak ini menemukan, mereka yang tumbuh tanpa hadirnya saudara kandung akan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Ini bisa jadi awal ‘berkembangnya’ sosiopat.
Gejalanya adalah kesulitan bergaul saat berada di lingkungan baru. Namun jika anak Anda terdapat ciri-ciri ini, tidak perlu khawatir. Belum tentu mereka sosiopat. Bisa jadi anak itu hanya mengalami gangguan perilaku atau conduct disorder saja. “Mereka masih dalam tahap perkembangan, kondisi itu masih bisa diperbaiki,” kata psikolog anak, Kasandra Putranto.
 Cara Mengenali Sosiopat
1. Amati Perilakunya
Sehari-hari, sosiopat tampak seperti orang yang tidak bermasalah. Bahkan sering kali kehidupan mereka terlihat sangat menyenangkan. Padahal bisa jadi, mereka sedang memanipulasi. Manipulasi yang umum dilakukan adalah dengan menipu termasuk berpura-pura menarik emosi korban.
2. Suka Menjatuhkan Orang
Perhatikan apakah ada rekan kerja yang gemar mengorbankan orang lain demi mencapai keinginannya. Karena tidak punya rasa empati, mereka tidak merasa bersalah melakukannya.
 3. Cari Informasi
Jika Anda mencurigai ada rekan kerja memiliki tanda-tanda sosiopat, mulailah mencari informasi tentang dirinya. Termasuk memverifikasi cerita-ceritanya. Seorang sosiopat biasanya menyusun latar belakang rumit, mengembangkan nilai dan pengalaman mereka. Mereka selalu berusaha meyakinkan orang lain untuk memenuhi keinginan mereka.
 4. Tak Punya Rasa Bersalah 
Lihat bagaimana ekspresi mereka saat melakukan kesalahan. Rasa menyesal tidak selalu diungkapkan dengan kata maaf, tapi bisa saja lewat ekspresi. Seorang sosiopat biasanya akan bersikap dingin alias tanpa ekspresi. Ekspresi inilah yang sering ditunjukkan para sosiopat yang dihukum karena melakukan kejahatan.
 5. Tes Psikologi
Jika sudah yakin, cobalah untuk mengajak rekan tersebut untuk melakukan tes psikologi. Dengan begitu akan diketahui pasti dan akan mendapatkan pengobatan terapi yang akan membantu mereka. (KEN/YOG)

sumber